Upacara Tiwah, Upacara Adat Khas Suku Dayak
Membahas budaya Indonesia memang tidak akan ada habisnya. Negeri yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke ini memiliki ribuan suku dengan masing-masing ritual adatnya. Kelahiran, pernikahan, hingga kematian dirayakan dengan cara yang berbeda. Inilah yang membuat Indonesia kaya akan budaya.
Salah satunya adalah daerah Kalimantan Tengah yang memiliki upacara Tiwah, yaitu prosesi mengantarkan roh leluhur yang telah meninggal dunia ke lewu tatau (surga) bersama Ranying Hatalla (Sang Pencipta). Jenazah yang sudah dikubur akan digali lagi, tulang belulangnya dibersihkan, kemudian dimasukkan ke dalam balai nyahu.
Tanda Bakti kepada Leluhur
Upacara Tiwah merupakan ritual para penganut Hindu Kaharingan, kepercayaan asli suku Dayak, sebagai tanda bakti kepada luhur. Tiwah merupakan upacara kematian tingkat terakhir. Bagi suku Dayak, kematian perlu disempurnakan dengan ritual lanjutan agar roh dapat hidup tenteram bersama Ranying Hatalla.
Tiwah bertujuan untuk melepas kesialan bagi keluarga yang ditinggalkan. Upacara ini juga bisa melepas ikatan status janda atau duda dari pasangan yang ditinggalkan, sehingga mereka dapat menentukan apakah akan mencari pasangan hidup lagi atau tidak akan menikah selamanya.
Upacara Tiwah membutuhkan dana yang besar. Oleh karena itu, prosesi pengantaran ini tidak dilakukan untuk satu jenazah saja, namun bisa puluhan jenazah dari berbagai desa.
Tata Cara Upacara Tiwah
Banyaknya tahapan dalam upacara Tiwah membuat perayaan ini bisa berlangsung selama 7 hingga 40 hari. Pertama, keluarga harus mendirikan balai nyahu, yaitu tempat untuk menyimpan tulang belulang yang sudah dibersihkan. Kedua, keluarga harus membuat anjung-anjung atau bendera kain yang jumlahnya harus sama dengan jenazah yang akan ditiwahkan.
Ketiga, keluarga memasukkan tulang belulang ke balai nyahu. Tahapan ini disebut Tabuh I, Tabuh II, dan Tabuh III. Ini merupakan tahapan yang riskan karena di sinilah roh mulai diantarkan ke lewu tatau. Tabuh dilakukan secara tiga hari berturut-turut.
https://blog.rumahdewi.com/wp-content/uploads/2017/04/ritual-tiwah.jpg
Tahapan berikutnya adalah keluarga melakukan tarian Manganjan sambil mengelilingi sangkai raya (tempat anjung-anjung dan persembahan untuk Ranying Hatalla berada) dan sapundu (patung berbentuk manusia). Begitu riang dan suka cita karena roh keluarga mereka naik ke surga.
Sapundu berfungsi sebagai tempat mengikat kerbau, sapi, ayam, atau babi yang nantinya akan dikurbankan. Hewan-hewan tersebut ditusuk dengan tombak hingga mati oleh keluarga. Penombak pertama adalah orang tua dalam silsilah keluarga. Mereka percaya cucuran darah hewan tersebut akan menyucikan roh.
Kepala hewan yang sudah mati akan dipenggal dan dikumpulkan sebagai makanan para roh. Sementara itu, daging mereka akan dimasak untuk dikonsumsi bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar